Ampas




Unnu mendapati diri mencium harum parfum yang menyengat dari seorang pria tak dikenal berstatus kelas menengah, sedang beradu sengit dengan koleganya menuturkan guyonan paling lucu di pojokan sebuah warung kopi. Sensasi yang begitu kental ia dapati lagi, setelah sekian lama terkurung oleh perasaan paranoid penyebaran virus yang melanda seluruh dunia. Menyebabkan ia sederet dengan orang-orang peduli akan pentingnya physical distancing  yang penuh kekwatiran berlebihan.

Angin berhembus kencang saat itu, di tengah-tengah pengunjung warung kopi "pak doer" yang setia. Secangkir kopi "legend" berada di depannya, khas pemiliknya yang entah dari zaman berapa mulai tersebar rumor diantara pelancong bahwa kopinya merupakan yang terbaik.

Asap rokok mengepul tebal keluar dari bibirnya yang menghitam karena nikotin perlahan menghilang, mencoba untuk meresapi sekali lagi waktu yang telah dilaluinya di tanah rantau. Suara bising pengunjung tak terdengar ditelinga, ia sibuk dengan pikiran yang berlari kencang menuju kampung halaman. 

Menatap indah hamparan bukit savana kering berwarna keemasan oleh mahatari, yang seolah-olah marah karna sedikit lagi akan digantikan sang bulan, mengawasi satu persatu hewan yang digembalakannya pulang kekandang. 

Setelah itu kakinya akan membawa ia ke kebun depan rumah sekedar menyalakan api unggun dan mem-bakar ubi kayu yang ditanami oleh bapaknya. Kopi, rokok daun lontar, paduan suara alami dari jangkrik, kodok dan burung malam menambah rasa tentram akan kedamaian hidup. Begitulah keseharian yang dilakukan unnu di kampungnya. Ia nyaman dengan aroma khas rumput kering di bukit, atau dari keringat kuda disaat mengembala, bau tanaman merambat yang kadang kalanya dikunyah untuk dioleskan ke luka saat terjatuh. 

Kembali ke warung kopi, perbincangan meja sebelah mulai beralih ke hal yang serius. Masing-masing raut muka mereka menegang dengan seiringnya topik berjalan. Mulai dari guyonan tentang kehidupan, sepakbola, janda sebelah rumah pa RT, dan system kapitalis negara ini.

Sangat khas warung kopi pikir unnu. Ia tak ingat dengan pasti kapan ia mulai berpikir pergi merantau untuk bersekolah. Sekedar menimbah ilmu di tanah orang. Di saat teman-teman sekolahnya menyatakan untuk pergi melanjutkan pendidikannya? Saat di rumah kala orang tuanya siap membiayai sekolah lanjutannya, atau saat ia di pojokan kandang dan termenung sendirian ditemani nyamuk. Ia masih belum mendapatkan jawabannya.

Yang pasti waktu berjalan cepat buat Unnu. 5 tahun berjuang dibangku kuliah lalu lulus dengan nilai cukup memuaskan, tidak buruk buat seorang anak kampung menurutnya. Ada penyesalan yang ia tinggalkan semasa kuliah. 
Sial. Sesalnya, sesekali Unnu berkhayal bisa kembali ke masa itu lalu merubah seperti apa yang diingininya. Sekarang Unnu tersadar, bahwa ia adalah salah satu dari sekian banyak mantan mahasiswa yang hanya mengejar sebuah nilai di atas kertas.




Comments

Popular posts from this blog

Maret

Pukul 5:51 pagi

Siapa Rumah-ku 2

Dosa-ku

Untuk kamu sahabat

Malam

Idiot