Pukul 5:51 pagi
Mata biru kusut lelah, yang bertemu pandang dan beradu sengit tak mau mengalah pada objek didepannya. Beralih sedikit saja harga diri menjadi taruhan.
Bukan apa, tetapi saat ini ia sedang berpacu dengan waktu. Sampai-sampai tidak mau beranjak barang sedikit untuk menyapa nyamuk yang menjadi teman satu-satunya ditempat itu. Mahluk itu sudah bosan menunggu, sebenarnya ia mencoba merayu dan menggoda untuk bermain bersama seperti sebelum, menjadi moment indah yang candu buat nyamuk itu. Ahhh,, mungkin si lelaki itu lagi ngak mood atau kembali ke dirinya seperti biasa, pikir nyamuk itu berlalu.
Sebenarnya sepanjang malam lelaki itu hanya menyentuh gawai usang-nya yang sepi. Mencoba mengutak-atik yang barang kali masih terdapat hal menarik untuk dikonsumsi namun nihil. Jadi, berakhirlah ia di tempat keramatnya itu.
Pukul 5:51 pagi, yang tercermin dari Gawai disampingnya, ditambah alunan musik "Tuhan su ator", lagu Ambon, yang menggambarkan perasaan hati saat itu. Entah apa yang merasuki sehingga didengarnya berulangkali tanpa merasa bosan.
Perlahan, ia mencoba bangkit, memindahkan pantat teposnya untuk mengambil alat tabung berisi cairan hitam lekat, lalu berusaha menodai sehelai kanvas berwarna putih.
Saat ini, tangan kanannya seakan menggenggam pedang, lalu tangan kiri terselip rokok tembakau yang ia linting sebagai sumber napasnya. Liar pikiran mulai meronta tak henti dikepala.
Sepantasnya sebagai seorang pria sejati, ia sudah meminta maaf pada lembar putih itu untuk bertahan dan jika telah usai perbuatan biadapnya, maka ia berjanji akan menghasilkan maestro terbaik sepanjang ia hidup. Sebuah kesepakatan yang coba ia tawarkan.
Dengan perlahan dan yakin, pedang imajinasinya itu siap dikomando untuk menggores dan melukai.
Itulah sepenggal cerita awal "lelaki" yang hidup kembali. Mencoba bangkit mempersiapkan kuda-kuda terbaiknya untuk menghadang dan menghantam lagi kesulitan-kesulitan dimasa yang akan datang.
Dengan tarikan napas panjang, yang rakus tanpa menyisahkan sedikit ruang dirongga dada lalu dibuangnya perlahan diiringi bisikan halus dari bibir yang menghitam, ada sedikit nada ketir namun tegas.
"saatnya menulis masa depan yang lebih pantas dan dapat dibanggakan".
Pare, Kediri.
Comments
Post a Comment